Pengertian
Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pengertian
konsumen sendiri adalah orang yang mengkonsumsi barang atau jasa yang tersedia
dimasyarakat baik untuk digunakan sendiri ataupun oranglain dan tidak untuk
diperdagangkan. Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen
bertujuan untuk, yaitu :
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
- Mengangakat derajat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan pemakaian barang atau jasa yang negatif
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan barang atau jasa dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
- Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
Meningkatkan
barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Di
Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal
menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian. Setelah
setahun menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47
merek susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak
ditemukan bakteri Enterobacter sakazakii.
Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas, kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi.
Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas, kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi.
Tanggung Jawab Produk
Dalam
perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product
liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung
jawab pelaku usaha.
Doktrin tersebut selaras dengan
doktrin perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang menyatakan, “Tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang.
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang.
Unsur-unsur ini pada dasarnya
bersifat alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan
hukum, tidak harus dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu
perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat
dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Doktrin strict product liability
masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Doktrin
tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort)
sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seorang
konsumen, apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat
pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier,
pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang memasarkan produk.
Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Selama ini,
kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi (default).
Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi
gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi
perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah
disyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan
unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan
pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur melawan hukum.
Hal inilah yang
dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya adalah
pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai
dalam proses produksinya. Untuk membuktikan unsur “tidak lalai” perlu ada
kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi negara tentang “Tata Cara
Produksi Yang Baik” yang dikeluarkan instansi atau departemen yang berwenang.
Kedigdayaan Produsen
Berdasarkan
prinsip kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu
mestinya tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan
semua unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin
perbuatan melawan hukum dalam perkara konsumen, seyogianya dilakukan
“deregulasi” dengan menerapkan doktrin strict product liability ke dalam doktrin
perbuatan melawan hukum.
Hal
ini dapat dijumpai landasan hukumnya dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menegaskan bahwa penjual bertanggung jawab adanya “cacat
tersembunyi” pada produk yang dijual. Menurut doktrin strict product liability,
tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality), kecuali
apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan.
Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko
kerugian yang dialami pihak lain karena mengonsumsi produknya.
Doktrin tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha.
Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Walhasil, berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran. Ternyata, selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk. Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada kesalahan/kelalaian dalam produknya tersebut.
Doktrin tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha.
Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Walhasil, berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran. Ternyata, selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk. Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada kesalahan/kelalaian dalam produknya tersebut.
Eksistensi Konsumen
Pada
dasarnya kebanyakan di antara kita adalah konsumen. Konsumen pada dasarnya
dapat diklasifikasikan menjadi konsemen rasional dan konsumen irrasional.
Konsumen berasal dari bahasa Belanda; konsement yang berarti pengguna
terakhir dari benda atau jasa yang diserahkan oleh pengusaha. Pengusaha di sini
meliputi produsen dan pedagang perantara. Dalam pengertian sempit
konsumen terbatas kepada mereka yang secara kontraktual mempunyai hubungan
hukum dengan pengusaha. Sedangkan dalam pengertian yang luas konsumen meliputi
semua pihak yang mengkonsumsi suatu produk baik berupa barang atau jasa,
terlepas ada hubungan kontraktual dengan pengusaha atau tidak. Antara konsumen
dengan pengusaha mempunyai hubungan timbal balik. Hak konsumen merupakan
kewajiban pengusaha, sebaliknya kewajiban pengusaha merupakan hak konsumen.
Dalam
sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Keberadaan konsumsi
akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan
menggerakkan roda-roda perekonomian. Bayangkanlah jika suatu saat,
masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membeli atau membayar suatu barang
yang diproduksi? Meskipun produsen berargumen barang sesuai dengan need konsumen,
namun tetap tidak akan melahirkan demand tanpa adanya kemampuan daya
beli konsumen. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi akan terhenti,
dan ekonomi akan mati (Mukhammad Najib,2003)
Dalam
realitas empirik, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata tidak
sesederhana seperti digambarkan di atas. Sudah tabiat produsen untuk berusaha
sekuat tenaga “mengeksploitasi” need konsumen dan mengkonversinya
menjadi demand. Dengan promosi yang gencar, sistem pembayaran yang
“merangsang” serta hadiah-hadiah yang ditawarkan, konsumen seakan tidak
memiliki alasan untuk tidak mempunyai daya beli. Sistem kredit misalnya,
merupakan bagian dari upaya produsen dalam memprovokosi konsumen agar terus
membeli, sampai akhirnya perilaku konsumsi mereka menjadi lepas kendali.
Perlindungan Konsumen
Secara
historis perlindungan konsumen bukan hal baru. Setidak-tidaknya Plato
(425-347SM) telah melarang keras para penjual bahan makanan yang
menentukan harga, menyamaratakan harga tanpa mempertimbangkan perbedaan mutu
bahan yang baik dengan bahan yang buruk.
Tahun 1906 di Amerika terbit sebuah buku
yang berjudul the Jungle karangan Upton Sinclair yang memaparkan tentang
kejelekan pengolahan daging di industri makanan. Dampak dari buku ini
selain membuat gempat masyarakat, telah memaksa pemerintah mengeluarkan
peraturan –peraturan untuk melindungi kepentingan konsumen.
Di Eropa perlindungan konsumen
dimulai tahun 190-an. Hal ini ditandai dengan :
1. dibuatnya
peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen.
2. tumbuhnya
organisasi masyarakat secara swadaya yang khusus bergerak dalam bidang
perlindungan konsumen.
Di Indonesia isu ini baru muncul pada
tahun 1970-an. Namun hingga kini penanganan perlindungan konsumen baru terbatas
pada tumbuhnya berbagai organisasi perlindungan konsumen seperti YLKI. Pada
saat ini kita mengenal adanya PPOM, LPOM, LPOM-MUI dan lain-lain.
Dengan kasus-kasus ketiadaan
perlindungan konsumen di Indonesia, maka merupakan agenda yang mendesak untuk
mengatasinya. Beberapa tahapan di bawah ini merupakan alternati ftawaran;
1. Memperkuat
peran dan fungsi badan-badan atau organisasi perlindungan konsumen untuk
menjaga dan mengantisipasi perlindungan konsumen.
2. Pemerintah
harus secara bertahap tetapi terus menerut mengelurkan peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan konsumen dalam berbagai aspeknya.
3. Pemerintah
atau swasta mensosialisasikan pernjanjian standar atau standar
baku dalam setiap transaksi yang mengedepankan perlindungan konsumen.
Bukan standar sepihak yang ditetapkan perusahaan tetapi merugikan konsumen.
4. Pemerintah
atau swasta mensosialisasikan unsur-unsur atau bahan-bahan tertentu yang
tidak boleh digunakan dalam industri besar maupun kecil seperti borak, formalin
dan lain-lain dan menggantinya dengan bahan-bahan yang aman.
5. Meningkatkan
pengawasan terhadap praktek-praktek yang merugikan konsumen di kalangan
masyarakat dan menyalurkannya ke badan-badan yang terkait untuk menuntaskannya
6. Pemerintah
harus konsisten dalam melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang melakukan
pelanggaran tentang perlindungan konsumen.
Arahan Islam tentang Perilaku Konsumsi
Islam
memberikan rambu-rambu berupa arahan-arahan positif dalam berkonsumsi.
Setidaknya terdapat dua batasan dalam hal ini: Pertama, pembatasan dalam
hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti sensitif terhadap sesuatu yang
dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-produk yang jelas keharamannya harus
dihindari, seperti minum khamr dan makan daging babi. Seorang muslim harus
senantiasa mengkonsumsi sesuatu yang pasti membawa manfaat dan maslahat,
sehingga jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal
itu dilarang dalam Islam (QS. 17 : 27)
Kedua,
pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam melarang umatnya
berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang dikaruniakan Allah SWT
kepada mereka. Namun Allah juga tidak menghendaki umatnya membelanjakan harta
mereka secara berlebih-lebihan di luar kewajaran (QS. 25 : 67, 5 : 87).
Dalam
perilaku konsumsi, Islam sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni
sesuai dengan kebutuhan. Dalam bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya…”(QS. 17 : 29).
Adapun
arahan Islam dalam perilaku konsumsi paling tidak ada tiga hal. Pertama,
jangan boros. Seorang muslim dituntut untuk selektif dalam membelanjakan
hartanya. Tidak semua hal yang dianggap butuh saat ini harus segera dibeli.
Karena sifat dari kebutuhan sesungguhnya dinamis, ia dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi. Seorang pemasar sangat pandai mengeksploitasi rasa butuh
seseorang, sehingga suatu barang yang sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan
tiba-tiba menjadi barang yang seolah sangat dibutuhkan. Contoh sederhana air
mineral. Dahulu orang tidak terlalu membutuhkannya. Namun karena perusahaan
rajin “memprovokasi” pasar, kini hampir di setiap rumah kita ada air mineral.
Kedua,
menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim hendaknya mampu
menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin
tidak berutang. Karena utang, menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan
di malam hari dan mendatangkan kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak
memiliki daya beli, kita dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih,
tidak malah memaksakan diri sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu
bertentangan dengan perilaku produktif. Kita telah merasakan: keresahan,
kehinaan, serta kehilangan kemerdekaan sebagai satu bangsa akibat jerat utang.
Ketiga,
tidak bermewah-mewahan. Islam melarang umatnya hidup dalam kemewahan (QS. 56 :
41-46) Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf Al Qardhawi adalah tenggelam dalam
kenikmatan hidup berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang serba
menyenangkan.
Dengan
demikian, perilaku konsumsi, sesuai arahan Islam di atas menjadi lebih terasa
urgensinya pada kehidupan saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga reda bertemu
dengan harga-harga yang melambung tinggi, menuntut kita untuk selektif dalam
berbelanja. Islam tidak melegitimasi momen apapun yang boleh digunakan untuk
mengkonsumsi secara berlebihan apalagi di luar batas kemampuan
Bagi
mereka yang memiliki uang berlebih mungkin berfikir, mengapa Islam harus
membatasi hak orang? Pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak individu dalam
mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah SWT sepanjang pelaksanaannya
tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam riwayat, Khalifah Umar bin Khattab
pernah melarang konsumsi daging dua hari berturut-turut dalam sepekan, karena
persediaan daging tidak mencukupi semua orang di Madinah. Demikian pula terjadi
pada zaman Nabi Yusuf, ketika terjadi swasembada selama tujuh tahun, masyarakat
tidak diperkenankan mengkonsumsi secara berlebihan (QS. 12:47-48).
Pembatasan
di masa krisis sesungguhnya dapat menjaga stabilitas sosial serta menjamin
terpenuhinya rasa keadilan, karena mereka yang punya kuasa atas harta tidak
bisa secara sewenang-wenang menimbun bahan pangan di rumahnya.
Sumber
Referensi :
http://e-bursaekonomi.blogspot.com/2012/02/etika-bisnis-dalam-perlindungan.html
Coin Casino Review Canada | 125 FS and 125 FS
BalasHapusCoin Casino 제왕카지노 Bonus Conclusion. deccasino A well-rounded site for new and experienced players that is 인카지노 powered by Microgaming, they offer a wide range of live games. If you Bonus: $250Min Deposit: $20 Rating: 4 · Review by Casinoowed