PENGERTIAN CSR ( Corporate Social Responsibilty )
Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan
oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk
tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu
berada. Contoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan
kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan
lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk
pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang
bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang
berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social
Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang
mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting
daripada sekedar profitability.
Seberapa jauhkah CSR berdampak positif bagi masyarakat ?
Corporate Social
Responsibility akan
lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari
orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi
Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan
CSR meliputi
pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya,
dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk
Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian
hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting
tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di
tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia,
pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR
(Corporate Social Responsibilty).
Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan
masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung,
dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya
besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku
bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil
dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang
lain.
Contoh Perusahaan Yang Menerapkan Corporate Social
Responsilities (PT. HM Sampoerna )
Pendahuluan
Tembakau adalah
salah satu komoditas perkebunan di Indonesia. Dari segi botani, kebanyakan
tanaman tembakau yang dibudidayakan sekarang ini adalah Nicotiana tabacum
L. Nama Nicotiana diberikan oleh ahli botani Linnaeus pada tahun 1753,
dengan mengambil sebagian nama duta besar berkebangsaan Perancis Jean Nicot
de Villamain, beliau banyak berjasa dalam penyebaran tanaman tembakau di
Eropa. Sedang kata tabacum atau tobacco tidak jelas aslinya tetapi kemungkinan
berasal dan kata tobago yaitu sejenis pipa bercabang yang kala itu digunakan
orang-orang Indian dengan menghisap asap melalui hidung atau mungkin pula
berasal dari nama suatu pulau di India Barat, yaitu Tobago.
Tembakau dan industri yang
menyertainya (industri rokok) telah berkembang pesat di Indonesia. Perusahaan
rokok telah menjelma menjadi perusahaan raksasa di Indonesia. Dengan dana yang
melimpah, perusahaan rokok di Indonesia melakukan kegiatan bisnis dan banyak
kegiatan sosial yang dibalut dengan program Corporarte Social
Responsilities (CSR). Tulisan ini akan membahas aktivitas CSR
perusahaan rokok di Indonesia, apakah telah mencapai sasaran yaitu sebagai
salah satu wujud sustainable development, atau hanya sekedar strategi
marketing saja.
Sejarah Perkembangan
Tembakau dan Industri Rokok di Indonesia
Masuknya
tembakau di Indonesia diperkirakan bersamaan dengan kedatangan bangsa Spanyol
atau Portugis, yaitu sekitar abad 16. Percobaan penanaman tembakau secara
besar-besaran di Indonesia pertama kali dilakukan bangsa Belanda pada tahun
1830 oleh Van den Bosch melalui Cultuurstelsel, yaitu di sekitar
Semarang, Jawa Tengah. Pada waktu itu, komoditas tembakau sangat dibutuhkan
untuk memenuhi pabrik-pabrik rokok terutama jenis cerutu, untuk kepentingan
orang-orang Belanda. Penanaman tersebut ternyata mengalami kegagalan dan
mendatangkan kerugian, sehingga diadakan penghapusan peraturan Culturstelsel
pada tanaman tembakau. Pada tahun 1856, Belanda mencoba kembali penanaman
tembakau secara meluas di daerah Besuki, Jawa Timur. Jenis tembakau yang
dibudayakan juga masih prioritas yang dibutuhkan, yaitu jenis cerutu.
Dua tahun
kemudian, yaitu pada 1858 diadakan penanaman jenis tembakau cerutu lainnya di
daerah Klaten. Sekitar tahun 1925 oleh Belanda didirikan Krosok-Central di
Talun, Jawa Timur dalam usaha penanaman jenis tembakau sigaret Virginia.
Perkembangan permintaan jenis tembakau sigaret yang makin meningkat,
menyebabkan kemudian di beberapa daerah mulai dikembangkan dan telah dicoba
penanamannya, antara lain di Lombok, Nusa Tenggara Barat; Lampung; Sumatra
Selatan; sekitar Ujung Pandang, Sulawesi Se1atan. Sejauh kini hampir sebagian
besar pengusahaan komoditas tembakau jenis cerutu dan jenis Virginia diusahakan
oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dalam bentuk PT Perkebunan Nusantara.
Lazim orang menyebut jenis tembakau yang diusahakan oleh Perkebunan dikenal
dengan nama “tembakau perkebunan”.
Jenis virginia
merupakan jenis tembakau untuk keperluan rokok sigaret. Permintaan pasar akan
rokok sigaret, membuat jenis virgina banyak dibudidayakan. Permintaan pasar
akan rokok sigaret yang besar, diimbangi pula oleh berdirinya pabrik-pabrik
rokok di Indonesia. Hingga kini ada beberapa pabrik rokok yang mempunyai
konsumen loyal yang sangat besar sehingga perusahaan tersebut menjelma menjadi
perusahaan raksasa. Beberapa perusahaan rokok ternama di Indonesia adalah PT
Djarum Indonesia dan PT. HM Samporena.
Corporate Social
Responbilities (CSR )
Dalam
undang-undang telah dikatakan bahwa perusahaan yang berstatus perseroan wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam UU PT, disebutkan
pada Ayat 1 pasal 74 berbunyi ”Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Hal ini merupakan salah satu dari
representasi dari kegiatan CSR sebuah perusahaan. Kalimat dalam undang-undang
tersebut hanya merupakan salah satu dari sekian banyak dari definisi CSR.
Sampai saat ini belum disepakati tentang definisi CSR.
Dengan tidak adanya kesepakatan ilmiah tentang CSR, maka konsekuensinya adalah
bahwa setiap pihak dapat menginterpretasikan CSR sesuai kepentingan dan selera
mereka. Banyak pendapat tentang definisi CSR. Namun secara umum dapat dimengerti
bahwa CSR adalah kontribusi perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan kata kunci pada
pengertian CSR. Kalau bukan ditujukan untuk pembangunan berkelanjutan negara di
mana perusahaan itu berada, maka CSR tersebut merupakan sekadar kosmetik untuk
perbaikan citra. Jadi, dengan menggunakan pembangunan berkelanjutan sebagai
konsep kunci, ada perbedaan yang tegas antara CSR dan greenwash alias
pengelabuan citra. CSR mengandung lima komponen penting, yaitu : ekonomi,
sosial, lingkungan, pemangku kepentingan, dan voluntarisme. Komponen ekonomi,
sosial dan lingkungan menekankan bahwa CSR dengan pembangunan berkelanjutan
tidak dapat dipisahkan.
CSR dalam Perspektif Perusahaan
Bagi
perusahaan, CSR dapat dipandang menjadi dua hal yang saling bertolak belakang,
yaitu apakah CSR itu bersifat sukarela atau wajib. Beberapa ahli menyatakan CSR
seharusnya didasarkan pada kesukarelaan dengan pendirian Ketua Panitia Khusus
UU. Dengan demikian kegiatan CSR perusahaan harus diregulasi.
Namun,sampai saat ini banyak perusahaan yang memandang CSR bukan sebagai
kewajiban, tetapi suatu kesukarelaan.
Pemahaman yang
dipromosikan oleh perusahaan-perusahaan yang berkomitmen CSR tinggi maupun
banyak ahli yang sependapat adalah bahwa sukarela bukan berarti perusahaan bisa
semaunya saja memilih untuk menjalankan atau tidak menjalankan tanggung
jawabnya atau selektif terhadap tanggung jawab itu. Yang dimaksud dengan
kesukarelaan adalah perusahaan juga menjalankan tanggung jawab yang tidak
diatur oleh regulasi. Jadi, apa yang sudah diatur oleh pemerintah
harus dipatuhi dahulu sepenuhnya, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal
positif yang tidak diatur. Semakin banyak hal positif yang dilakukan
perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja CSR
perusahaan itu semakin tinggi.
Undang-Undang
Perseroan Terbatas mewajibkan perusahaan yang berbasis sumber daya alam
menyisihkan anggaran untuk tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan.
Perdebatan banyak terjadi di seputar CSR yang seharusnya berlandaskan kerelaan,
tetapi menjadi kewajiban. Tetapi karena sudah menjadi UU, yang bisa dilakukan
adalah justru bagaimana merumuskan dalam peraturan pemerintah yang akan menjadi
strategi baru dalam menjalankan perusahaannya. CSR telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Komisi Eropa membuat definisi yang lebih
praktis, yang pada intinya adalah bagaimana perusahaan secara sukarela memberi
kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang
lebih bersih.
Tanggung jawab
sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal)
perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam
bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Keluar, tanggung jawab sosial ini
berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan
kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara
lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. Dengan hal ini dapat
disimpulkan begitu luasnya makna CSR. Dapat digambarkan CSR sebagai sebuah
piramida, yang tersusun dari tanggung jawab ekonomi sebagai landasannya,
kemudian tanggung jawab hukum, lantas tanggung jawab etik, dan tanggung jawab
filantropis berada di puncak piramida.
CSR Perusahaan Rokok di Indonesia,
Kepedulian Sosial atau Strategi Pemasaran
PT. HM
Sampoerna dengan dana yang melimpah, menawarkan kegiatan sosial yang dilakukan
untuk kepentingan masyarakat. Tidak mau kalah dengan PT. HM Sampoerna, PT.
Djarum Indonesia menawarkan banyak program yang dilakukan untuk masyarakat,
antara lain Djarum Bakti Pendidikan, Djarum Bakti Lingkungan, dan Djarum Bakti
Olahraga. Bentuk dari Djarum Bakti Pendidikan dan Djarum Bakti Olahraga
adalah pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi namun tidak mampu secara
ekonomi atau siswa yang berprestasi baik di bidang akademik maupun olahraga
(khususnya olahraga bulu tangkis).
Di mata
sebagian besar pemilik perusahaan dan jajaran direksi perusahaan, istilah corporate
social responsibility (CSR) dipandang hanya sebagai tindakan filantropi.
CSR ditempatkan sebagai derma perusahaan atau bahkan sedekah pribadi. Selain
itu, terdapat juga pandangan yang cukup kuat di mata pelaku bisnis yang
memandang CSR sebagai strategi bisnis. CSR dijadikan sebagai instrumen untuk
mencapai dan meningkatkan tujuan ekonomi melalui aktivitas sosial. Dalam
beberapa iklan rokok di televisi, dapat dilihat bahwa iklan rokok menyentuh
sisi kepedulian sosial. Pemberian beasiswa pendidikan bagi masyarakat yang
kurang mampu dipublikasikan secara dramatis, sehingga iklan rokok bukan saja
mengagumkan, namun juga mampu menyentuh solidaritas kemanusiaan. Setelah PT. HM
Sampoerna dengan jargon ”Sampoerna untuk Indonesia” banyak menampilkan
sumbangsih mereka untuk mencerdasakan bangsa, belakangan PT Djarum menampilkan
hal senada. Kendati sebagian orang mengetahui bahwa kegiatan ”Sampoerna untuk
Indonesia” dikelola oleh Sampoerna Foundation yang secara manajerial terpisah
dan independen dari PT HM Sampoerna, namun semua orang mafhum bahwa publikasi
itu memiliki relasi dengan pemasaran (caused related marketing) dengan
produk rokok Sampoerna. Demikian pula halnya Beasiswa Djarum atau Diklat Bulu
Tangkis Djarum.
Hubungan CSR dengan
Profitabilitas Perusahaan
Tanggung jawab
ekonomi adalah memperoleh laba, sebuah tanggung jawab agar dapat menghidupi
karyawan, membayar pajak dan kewajiban perusahaan yang lainnya. Tanpa laba
perusahaan tidak akan eksis, tidak dapat memberi kontribusi apapun terhadap
masyarakat. Artinya, CSR yang dalam dimensi filantropi yang biasanya bersifat
kerelaan, dijadikan sebuah keharusan bagi perusahan yang berbasis sumberdaya
alam. Penjabarannya mungkin lebih mengarah kepada community development yang
tersirat dari judulnya “tanggung jawab sosial dan lingkungan” dan mengaitkannya
dengan perusahaan berbasis sumberdaya alam. Dalam program community
development telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan
komunitas dari yang semula hanya bersifat ad hoc, pendekatan amal,
berorientasi jangka pendek, kesadaran yang rendah, dan externally driven menjadi
bersifat kemitraan, lebih dirasakan sebagai kewajiban moral, berorientasi
kepada etika dan internally driven.
Riset yang dilakukan oleh Roper
Search Worldwide menunjukkan 75% responden memberi nilai lebih kepada
produk dan jasa yang dipasarkan oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata
kepada komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66% responden juga
menunjukkan mereka siap berganti merek kepada merek perusahaan yang memiliki
citra sosial yang positif. Hal ini membuktikan terjadinya perluasan ”minat”
konsumen dari ”produk” menuju korporat. Konsumen semacam ini tidak hanya peduli
pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga peduli pada
penciptaan kesejahteraan jangka panjang. Meningkatnya tingkat kepedulian akan
kualitas kehidupan, harmonisasi sosial dan lingkungan ini juga memengaruhi
aktivitas dunia bisnis. Maka lahirlah gugatan terhadap peran perusahaan
agar mempunyai tanggung jawab sosial. Di sinilah salah satu manfaat yang dapat
dipetik perusahaan dari kegiatan CSR. CSR dapat mengimbangi exposure terhadap
sisi negatif perusahaan dan mengurangi dampak terhadap tindakan yang tidak
menyenangkan. Misalnya, jika suatu saat perusahaan menghadapi krisis. Aktivitas
CSR yang efektif akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan.
Ketika perusahaan diterpa kabar miring, masyarakat tidak langsung percaya. satu
manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR.
Dalam perspektif ganda,
keberadaan perusahaan diharapkan dapat memacu derak roda perekonomian, yang
membawa komunitas menuju taraf hidup yang lebih tinggi. Dengan demikian harus
ada keseimbangan manfaat komunitas (community benefits) dengan manfaat
bisnis (business benefits), yang dapat diperoleh dari percampuran
antara filantropi murni dan pendekatan business sponsorship approach yang
melahirkan strategic philanthropy. Bahkan bila perlu diberikan
insentif khusus bagi perusahaan yang konsisten menerapkan CSR atau community
development secara efektif serta terbukti berhasil meningkatkan kualitas
hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya, sehingga ada keseimbangan antara punishment
berupa sanksi dan reward berupa insentif (misalnya keringanan
pajak).
Strategi
Pengelabuan Citra
Di tengah hiruk
pikuknya iklan-iklan terkait CSR, ia mengingatkan bahwa banyak sekali
kemungkinan iklan-iklan itu jatuh ke dalam kategori pengelabuan citra
(greenwash) belaka. Citra perusahaan kerap dinyatakan sebagai variabel antara
dalam hubungan antara kinerja CSR dengan kinerja finansial perusahaan. Ada
beberapa hal yang dapat ditimbulkan oleh pengelabuan citra. Salah satunya
adalah para konsumen yang beriktikad baik akan terperosok membeli produk yang
sesungguhnya tidak berkinerja sebaik yang dijanjikan, sehingga peningkatan mutu
lingkungan yang diharapkan oleh konsumen tersebut tidak terjadi. Dengan
kerugian tersebut, maka pengelabuan citra oleh perusahaan memang harus
diperangi.
Bagaimana dengan pengelabuan
citra rokok? Rokok yang dikelompokkan sebagai produk dewasa dan bahkan tidak sedikit
kalangan pengamat CSR yang mengategorikannya sebagai produk berbahaya— masuk ke
dalam harmfull industries yang dianggap legal, setara dengan
miras, judi dan senjata—tampil sedemikian elegan. Industri rokok memang sudah
lama menjadi sponsor untuk berbagai event yang sama sekali
bertentangan dengan kebiasaan merokok, seperti turnamen sepak bola, kejuaraan
bulu tangkis, dan bahkan tidak sedikit menjadi sponsor utama untuk acara-acara
keagamaan. Padahal, olahraga adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan yang
kerap disejajarkan dengan upaya menghindari rokok, sementara majoritas norma
agama menganjurkan agar tidak merokok.
Event lain yang banyak
disponsori industri rokok adalah pagelaran seni. Bahkan sebuah industri rokok
secara rutin menyelenggarakan konser musik tahunan dengan tur berkeliling ke
sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Sekali lagi, pesannya pun dikemas
sedemikian indah dan menyentuh sisi yang sangat positif. Hampir dalam semua
kegiatan yang disponsori industri rokok, dengan publikasi yang besar-besaran
dan nyaris menggunakan semua media publikasi, mulai dari televisi, radio,
baliho, dan bahkan sampai dengan poster-poster yang ditempel di berbagai
tempat. Juga, selalu mengutamakan pesan utama yang sepertinya tidak ada
hubungannya dengan bahaya merokok.
Sesungguhnya baik pesan yang
menunjukkan kepedulian pada penderitaan sosial, kesehatan, menjadi sahabat di
saat duka dan menjadi teman di kala suka, dengan sangat mudah dipastikan bahwa
itu semua merupakan strategi pemasaran. Bertambahnya jumlah pecandu perokok
adalah tujuan utama dari kegiatan ini. Padahal, para dokter punya banyak daftar
nama penyakit yang bakal diderita orang yang kecanduan rokok. Bahkan
dalam setiap kemasan bungkus rokok, dicantumkan peringatan: ”Merokok dapat
menyebabkan serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.”
Tampaknya strategi pengelabuan
citra rokok ini berhasil. Pada peringatan pada tahun 2008, tema yang diangkat
adalah membebaskan generasi muda dari asap rokok. Pada Youth Tobacco Survey
(GYTS) yang dilakukan WHO sepanjang tahun 2004-2006 di Indonesia, diungkapkan
bahwa 12,6% pelajar SMP adalah perokok. Untuk pelajar laki-laki mencapai
seperempatnya (24,5%) dan perempuan 2,3%. Dan yang mengejutkan sebanyak 30,9%
dari pelajar perokok tersebut mulai merokok sebelum umur 10 tahun dan 3,2% dari
mereka termasuk dalam kategori kecanduan. Hasil lain penelitian itu adalah
lebih dari sepertiga (37,3%) pelajar SMP Indonesia pernah merokok dengan
persentase laki-laki 61,3% dan perempuan 15,5%. Sebanyak 64,2 % pelajar SMP
menyatakan mereka telah menjadi perokok pasif. Kondisi lebih parah terjadi di
tempat-tempat umum yaitu sebanyak 81,0% pelajar SMP menjadi perokok pasif.
Namun dari semua data negatif
yang tersajikan, sekitar 88% pelajar SMP setuju adanya larangan merokok di
tempat umum dan 75,9% pelajar perokok ingin berhenti merokok. Sayangnya, 85,5%
dari mereka mengaku telah mencoba untuk berhenti namun gagal sehingga
memutuskan untuk kembali merokok. Begitu tingginya aktivitas merokok di
kalangan generasi muda jelas sangat memprihatinkan, karena hal ini berkorelasi
langsung dengan kesehatan kualitas anak usia sekolah tersebut.
Efektifitas Strategi
Pengelabuan Citra dengan Keberhasilan Pemasaran
Apa yang
membuat anak muda dan orang dewasa tidak mampu bisa berhenti merokok atau
kecanduan rokok. Jawabannya adalah iklan rokok yang marak muncul di stasiun TV.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang melakukan survai tahun 2007
di 12 kota di indonesia dengan total responden 2.750 menyebutkan 97,3% pelajar mengaku
pernah melihat iklan dan promosi rokok dan 83,7% responden pun mengaku bahwa
mereka terinsipirasi untuk mulai merokok setelah melihat iklan, promosi dan
kegiatan yang disponsori industri rokok.
Dalam catatan Komnas PA lainnya,
sepanjang Januari-Oktober 2007 terdapat 2.848 tayangan televisi yang disponsori
rokok di 13 stasiun televisi. Juga tercatat ada 1.350 kegiatan yang disponsori
industri rokok, meliputi acara musik, olahraga, film layar lebar, seni dan
budaya, hingga kegiatan keagamaan. Karena iklan rokok itu pulalah yang menjadi
penyebab orang untuk mulai belajar merokok. Contoh yang konsisten adalah konser
pertunjukan para musisi yang berasal dari dalam dan luar negeri yang sarat akan
pengerahan massa hampir 100% disponsori oleh perusahaan rokok. Kegiatan
olahraga di tingkat nasional juga menggunakan rokok sebagai sponsor utamanya.
Ironis memang, kegiatan yang menekankan kreativitas dan sportivitas malah
dibayari oleh rokok yang sebetulnya bertentangan makna dan tujuannya. Namun,
perusahaan rokok juga menyambut dengan antusias kegiatan ini, yaitu dengan
mengobral iklan produknya. Iklan-iklan tersebut yang selanjutnya ditonton,
diperhatikan, ditiru dan bahkan dicoba oleh sebagian penonton, turutama anak
usia sekolah yang sedang gemar dengan acara musik maupun olahraga.
Menetukan Arah CSR
Perusahaan Rokok
Upaya-upaya yang dilakukan
oleh industri rokok dalam menyiasati pembatasan iklan, di antaranya
adalah melalui program CSR. Bagaimana industri rokok dilihat dari sudut pandang
CSR? Secara umum dapat dinyatakan bahwa majoritas pakar CSR tidak ragu untuk
menyatakan bahwa industri rokok tidak bisa dianggap sebagai industri yang
bertanggung jawab sosial. Ada setidaknya tiga indikasi yang terkait dengan
pendapat tersebut. Pertama, tidak satupun indeks socially responsible
investment (SRI) yang menyertakan perusahaan rokok ke dalam portofolio
investasinya.
Kedua, penolakan para pakar atas
keterlibatan industri rokok dalam berbagai aktivitas ilmiah yang membahas CSR.
Yang paling terkenal adalah penolakan puluhan pakar terhadap ketelibatan BAT
dan Philip Morris dalam forum Ethical Corporation Asia di Hong Kong (14-15
Oktober 2004). Tadinya, kedua raksasa industri rokok tersebut terdaftar sebagai
sponsor emas dan juga mengirimkan eksekutif puncaknya sebagai pembicara. Namun,
sebuah petisi yang ditandatangani 86 pakar CSR dan etika bisnis, membuat
keikutsertaan dua perusahaan tersebut dibatalkan oleh panitia. Ketiga, berbagai
survei mutakhir menunjukkan bahwa seluruh pemangku kepentingan sepakat bahwa
industri rokok adalah yang paling rendah kinerja CSR-nya. Artinya, telah
terjadi kesepakatan global para pemangku kepentingan bahwa industri rokok
memang tidak bisa dipandang bertanggung jawab.
Mengapa kesepakatan global ini
muncul di kalangan penggiat CSR? Karena beberapa tahun belakangan telah
tercapai kesadaran bahwa CSR bisa dimaknai dengan jelas, walaupun definisinya
masih sangat beragam. Perbedaan definisi itu ini diketahui hanyalah merupakan
perbedaan penekanan dan artikulasi, namun secara substansi tidaklah berbeda.
CSR jauh lebih luas dari sekedar
pemberian sponsor, karena sebetulnya CSR adalah manajemen dampak. Timbal balik
ke masyarakat juga hanya sebagian dari CSR, karena CSR terutama berkaitan
dengan bagaimana keuntungan dibuat oleh perusahaan, bukan sekadar berapa dan
kepada siapa keuntungan itu disebarkan. Citra positif adalah hasil menjalankan
CSR dalam jangka panjang, namun citra bukanlah tujuan menjalankan CSR itu
sendiri. Demikian juga dengan uang. Banyak riset telah membuktikan bahwa
kinerja CSR dan kinerja financial perusahaan memang berkorelasi positif, namun
uang (keuntungan) hanyalah dampak ikutan dari menjalankan CSR.
Kalau sebuah perusahaan rokok
coba-coba untuk membuat klaim bahwa mereka adalah perusahaan yang bertangung
jawab sosial, kita bisa menimbangnya dengan keharusan internalisasi
eksternalitas di atas. Yang pertama-tama harus diperiksa adalah apakah memang
dampak negatif dari produksnya telah ditekan hingga batas terendah yang
mungkin? Belum tampak ada upaya masif dari industri rokok untuk mencegah
anak-anak dan remaja merokok dengan menghilangkan akses mereka ke produk rokok
dan berbagai iklannya. Industri ini juga sama sekali tak serius melindungi
bukan perokok.
Dalam berbagai literatur CSR
dinyatakan, apabila perusahaan tidak meminimumkan dan mengkompensasi
dampak negatifnya terlebih dahulu, namun langsung terjun dalam kegiatan
amal, itu disebut greenwash alias pengelabuan citra. Tampaknya inilah
yang banyak terjadi pada industri rokok di manapun, termasuk di Indonesia.
Begitu juga dengan sinyal bahwa
CSR adalah budi pekerti korporat. Jika budi pekerti tidak baik, maka masyarakat
akan melihat budi pekerti korporat juga tidak baik. Pencitraan sebagai
perusahaan dengan budi pekerti yang baik merupakan sebuah metode untuk
mentransfer rival costs yang harus dikeluarkan perusahaan untuk
menghadapi pesaing pada industri sejenis. Sebagai contoh PT. HM. Sampoerna yang
mencitrakan dirinya sebagai perusahaan rokok yang menjalankan CSR melalui
kepedulian pada pendidikan atau PT. Djarum Indonesia melalui program CSR
penghijauan dan peduli lingkungan. Positioning tersebut menurunkan rival
cost dengan perusahaan lain dalam satu industri, terutama dengan bentuk
pasar yang oligopoli maka melalui strategi ini perusahaan mengirimkan sinyal
positif sebagai perusahaan yang berbudi pekerti. Hasilnya diharapkan nilai
perusahaan akan mengalami peningkatan atau dengan kata lain tujuan financial
perusahaan akan tercapai.
Terlepas dari batas yang tipis
antara sumbangsih sosial dan strategi pemasaran, sumbangsih mereka, jelas-jelas
diakui membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat. Namun yang perlu
dipertanyakan adalah kegiatan CSR perusahaan rokok tersebut sudah tepat atau
belum. Dampak terdekat dari kehadiran dan penggunaan produk rokok adalah soal
kesehatan. Oleh karena itu seharusnya industri rokok banyak memprakarsai
meminimumkan dampak negatif ini dibandingkan dengan memberikan sumbangsih bagi
kegiatan hiburan dan mempublikasikan kegiatan solidaritas sosial. Demikian pula
hanya dengan produk rokoknya sendiri. Dalam rangka menghindari dampak buruk
bagi kesehatan, produk rokok selain mengedepankan soal cita rasa, sebaiknya
juga menginformasikan kandungan dan batas toleransi racun dan tata cara merokok
yang mungkin bisa meminimalisasi dampak negatif bagi kesehatan bagi
konsumennya. Secara sosial, aktivitas merokok di ruang publik juga banyak
dikeluhkan. Oleh karena itu, industri rokok juga seharusnya berperan aktif
untuk menyosialisasikan larangan merokok di ruang publik dan membangun
sarana-sarana smoking area. Dari sisi penonjolan kemewahan dan
kebanggaan merokok, iklan rokok sudah sangat berhasil. Namun dari sisi
pendidikan untuk perokok tentang bagaimana sebaiknya merokok dengan santun,
hingga kini tak ada satu pun industri rokok yang mulai memprakarsainya.
Dalam soal supply chain, industri
rokok merupakan salah satu industri yang memiliki mata rantai keterlibatan
pelaku bisnis yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih sampai
dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Pertanyaan penting yang harus diajukan
adalah: apa yang dilakukan oleh industri rokok untuk meningkatkan
kehidupan merka yang terlibat di dalamnya? Apakah pembagian keuntungan yang
relatif adil sudah terjadi, ataukah ketimpangan pendapatan yang menjadi ciri
pelaku industri ini?
Kedermawanan perusahaan
(corporate philanthropy) bisa diartikan sebagai inisiatif perusahaan untuk
terlibat dalam upaya-upaya perbaikan kehidupan sosial. Alasan kemanusiaan pada
mulanya menjadi motivasi utama tindakan ini. Dalam perkembangannya lebih
lanjut, kegiatan ini berkembang menjadi sebuah tindakan strategis. Alasan
membangun reputasi, causerelated marketing, dan bahkan secara
diam-diam menghitung dampak dan peluang politik hadir dalam tindakan
filantropis ini. Sepertinya ini terjadi karena sebagian besar perusahaa
menempatkan diri sebagai diri sebagai perusahaan dermawan, untuk kemudian
melakukan ekspansi pasar atas modal perolehan citra positif dari publik.
Sebagai sebuah tindakan, CSR
tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab perusahaan untuk menimimalisasi dampak
negatif dan maksimalisasi dampak positif. Untuk sementara, tampak bahwa kinerja
CSR lebih banyak memokuskan diri pada maksimalisasi dampak positif dengan
memberikan kontribusi pada aneka ragam kegiatan sosial. Pada umumnya CSR lebih
sering memilih agenda sumbangan kepada korban bencana, bermain di sektor
pendidikan dan kesehatan. Nyaris semua kegiatan CSR berhenti sampai di sini.
Dan nyaris pula, mereka melupakan evaluasi dan kewajibannya untuk
menimalisasi dampak negatif operasi perusahaannya.
Langkah Strategis
Pelaksanaan CSR Perusahaan Rokok
Agar CSR menjadi sebuah langkah
yang sustainable dan termasuk sebagai upaya minimalisasi dampak negatif dan
maksimalisasi dampak positif, disarankan beberapa langkah manajerial yang
sebaiknya diambil.
Pertama, melakukan
review atas portfolio kegiatan dan program yang sudah berlangsung. Dalam
melakukan review dilakukan perusahaan harus melihat apakah kegiatan yang selama
ini dilakukan termasuk (i) communal obligation, sebuah kegiatan umum
sebagaimana layaknya seorang warga negara. Ciri umum dari kategori ini adalah
keterlibatan CSR dalam program pendidikan dan kesehatan; (ii) goodwill
building, memberikan kontribusi dan dukungan penuh kepada seluruh
karyawan, pelanggan, dan community leader dalam menjalin hubungan baik dan
merangkai program company relationship jangka panjang. Dalam kategori
ini CSR, juga dijadikan sebagai momentum untuk merangkai stakeholder
engagement baik secara internal (khususnya employee dan supply chain)
maupun secara eksternal (khususnya dengan pemerintah, organisasi masyarakat
sipil, dan masyarakat secara umum); (iii) strategic giving, memberikan
bantuan sesuai dengan core competence bisnis dan konteks kebutuhan
lokal.
Dalam konteks ini, yang kegiatan
CSR yang disarankan bagi perusahaan rokok adalah memperhatikan kesejahteraan
para pelaku bisnis rokok yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih
sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Peningkatan taraf hidup mereka
yang terlibat di dalamnya. Dan menerapkan suatu sistem pembagian keuntungan
yang relatif adil.
Kedua, melakukan
penilaian atas resistensi—baik yang potensial maupun yang sudah eksis—dari
inisiatif pemberian bantuan oleh perusahaan. Penilaian ini dilakukan dengan
memerhatikan: (i) proses seleksi atas upaya pemberian bantuan terbaik; (ii)
upaya memperlebar mitra dengan kelompok lain dalam memberikan bantuan; (iii)
upaya-upaya dan proses-proses perbaikan kinerja pemberian bantuan; (iv)
perolehan dampak perbaikan dan perluasan pengetahuan. Empat “saringan” ini
diperhatikan dengan saksama demi terwujudnya nilai sosial dan ekonomi baru:
terjadi keseimbangan atau titik temu antara semakin tingginya manfaat sosial
dalam kegiatan filantropi murni dan manfaat ekonomi dalam kegiatan bisnis
murni.
Ketiga, mencari
opportunity untuk melakukan collective action di sebuah wilayah
operasi bersama mitra lain. Mitra di sini baik berupa perusahaan lain maupun
beragam para pemangku kepentingan yang memiliki competitive context sesuai
dengan canangan program yang hendak dijalankan. Dalam konteks ini disarankan
bagi perusahaan rokok bekerja sama dengan perusahaan rokok lain untuk membangun
unit-unti smoking area dan mengkampanyekan hanya boleh
merokok pada smoking area tersebut. Hal ini sebagai konsekuansi bahwa rokok
sebenarnya mengganggu bagi orang-orang disekitarnya. Sebab hal ini sebenarnya
yang dibutuhkan masyarakat yang bukan perokok.
Keempat, dengan
penuh saksama melakukan jejak rekam (monitoring) dan mengevaluasi hasil. Temuan
perolehan hal-hal unik yang mungkin berbeda sama sekali dengan langkah teks
manajerial sebaiknya dijadikan sebagai input untuk perbaikan dan inovasi
program tiada henti. Satu hal yang juga penting diperhatikan—kendati secara
implisit sudah ditegaskan di muka, bahwa CSR juga membawa misi penyebaran
nilai-nilai. Nyaris semua perusahaan besar dibangun atas nilai-nilai universal
pendirinya dan berbagai program CSR juga sedikit banyak mencerminkan keinginan
penyebaran nilai-nilai para pendiri bangunan dan jaringan bisnis ini.
Nilai-nilai seperti kemandirian, upaya membantu sesama, komitmen pada
kebersihan dan kejujuran, semangat dan kerja keras, seni bertahan dan
mengaktualisasikan diri, serta sejumlah cita-cita yang berhubungan dengan
nilai-nilai citizenship, juga merupakan item yang harus diperhatikan dengan
saksama dalam melakukan CSR.
Secara keseluruhan
langkah-langkah di atas haruslah bermuara pada keseimbangan antara kontribusi
sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan tentunya ditempatkan dalam kerangka
upaya manajemen untuk meminimumkan dampak negatif rokok dan memaksimalkan
dampak positif perusahaan rokok sesuai dengan bisnis yang dijalankan. Dan di
sinilah titik temu makna tindakan CSR yang memberikan dampak positif bagi
kehidupan sosial dan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi baik bagi
masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang keseimbangan ini dijaga dengan saksama,
CSR bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab.
Kesimpulan
Kegiatan CSR yang selama ini
dilakukan oleh kebanyakan perusahaan rokok merupakan sebuah strategi pemasaran
dan strategi pengelabuan citra. Kegiatan CSR yang dilakukan bukan untuk
meminimalisir dampak nigatif rokok yang berbahaya bagi kesehatan, namun
kegiatan tersebut bertujuan untuk menarik simpati sosial. Kegiatan ini efektif
dilakukan untuk mendongkrak keuntungan perusahaan rokok. Seharusnya CSR
perusahaan rokok dilakukan untuk meminimalisir bahaya rokok, dengan setidaknya
menggunakan langkah-langkah strategis yang dikemukakan di atas. Dengan demikian
akan ditemukan titik temu antara makna tindakan CSR yang memberikan dampak
positif bagi kehidupan sosial dan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi baik
bagi masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang keseimbangan ini dijaga dengan
saksama, CSR bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab.
Sumber Informasi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar